Apa Kabar Kilang Darat Blok Masela?
Rencana pembangunan kilang Blok Masela di Maluku, awalnya tidak ada masalah. Karena semua tenang. Bisa juga, karena memang tidak mengetahui kekayaan alam yang ada di Masela. Meski rakyat tidak menyadari kekayaan di Blok Masela, tapi dapat dipastikan segelintir elite daerah dan pusat mengetahui persis apa yang ada di Masela. Hal itu setidaknya terbukti dari adanya plan of development (PoD) pada 2010. Sebab, tidak mungkin PoD itu serta merta muncul begitu saja.
Sangat disayangkan karena rakyat Maluku dibiarkan tidak mengetahui dan bahkan secara sengaja mengabaikan masyarakat untuk tidak dilibatkan atau ikut berbicara mengenai rencana pengelolaan Blok Masela. Jadi, tiba-tiba ada PoD, kemudian tiba-tiba mau revisi PoD, tiba-tiba mau memperpanjang kontrak. Menyedihkan memang, karena kekayaan alam yang begitu besar di Maluku, mau dikelola dan diambil tanpa sepengetahuan dan keterlibatan rakyat Maluku. Beginikah pengelolaan sumber daya alam dan cara bernegara yang diimpikan para pendiri negara ini? Tentu tidak.
Namun, siapapun yang menyadari kekuatan yang bermain di Blok Masela tidak akan gegabah, karena berkaitan dengan kekuatan dan uang yang sangat besar di Blok Masela. Yang terjadi, hanya diskusi kecil selama bertahun-tahun karena semua pintu seolah tertutup.
Perombakan kabinet tahun 2015 menjadi titik krusial dalam pengelolaan Blok Masela, karena Dr. Rizal Ramli diangkat menjadi Menko Kemaritiman dan Sumber Daya Alam. Keberpihakan Rizal Ramli terhadap rakyat tidak perlu diragukan dan teruji. Rizal Ramli seorang ekonom yang memahami dengan baik bagaimana mengelola sumber daya alam. Kesempatan kecil yang ada dimanfaatkan untuk mendatangi Rizal Ramli dan memprotes pengelolaan Blok Masela. Tuntutan yang bisa dilakukan membangun kilang Blok Masela di darat.
Jadi, jangankan meminta bagian di Blok Masela, untuk memindahkan kilang dari laut ke darat saja begitu berat. Sekali lagi, kekuatan di Blok Masela sangat kuat mencekeram. Namun, lambat laun aspirasi Maluku didengar dan Presiden Joko Widodo memutuskan pembangunan kilang Blok Masela di darat. Ini keputusan yang strategis bagi masa depan Maluku dan kawasan timur Indonesia. Tapi, Rizal Ramli bertugas dalam masa yang relatif singkat dan tidak ada yang tahu ada tidaknya kaitan dengan sikapnya yang pro rakyat di Blok Masela.
Satu Tahun
Pengumuman Presiden Joko Widodo yang memutuskan kilang di darat Blok Masela ini dilakukan dalam acara tidak resmi kepada wartawan di Bandara Supadio Pontianak, Kalimantan Barat pada 23 Maret 2016. Jadi, persis satu tahun pada 23 Maret 2017 ini. Keputusan Presiden ini layak mendapat sambutan hangat, tentu kalau berpihak kepada kepentingan Maluku. Sebab, kalau mau jujur, ada segelintir pihak, baik di Maluku maupun di Jakarta yang justru mempertahankan agar kilang dibangun di laut, sesuai dengan keinginan investor atau pemilik uang.
Mengapa pilihan di darat lebih bagus bagi Maluku? Meski arus besar di Maluku menghendaki kilang darat, tetapi tidak menyurutkan niat segelintir elit untuk mempertahankan kilang terapung. Begini, Blok Masela itu berada sekitar 40 mil laut dari pantai terdekat. Sementara di satu sisi, sesuai UU Pemda, kewenangan pemerintah provinsi di laut hanya sejauh 12 mil. Selebihnya, merupakan kewenangan pemerintah pusat. Artinya, pengelolaan Blok Masela (kilang terapung) akan menjadi kewenangan penuh pemerintah pusat, karena berada di atas 12 mil.
Tetapi, dengan keberadaan kilang darat, maka mau atau tidak mau, Maluku memiliki daya tawar yang memadai untuk memperoleh manfaat bagi pengembangan wilayah Maluku, terutama di bagi selatan yang memang harus diakui “ditelantarkan” selama ini. Jadi, persoalan Blok Masela bukan perkara darat atau laut semata, tetapi merupakan langkah untuk memastikan rakyat Maluku memperoleh manfaat yang besar dari keberadaan Blok Masela. Ada banyak kisah nyata dimana, pengelolaan SDA itu lebih menyerupai negara dalam negara atau meminjam istilah Presiden Joko Widodo menjadi enclave. Kalau di darat saja seperti itu, bisa dibayangkan jika kilang itu dibangun terapung. Bukan mustahil, rakyat akan menjadi penonton atau bahkan untuk menjadi penonton saja tidak bisa, karena saking tidak terjangkaunya.
Tidak lama setelah pengumuman itu, Presiden Joko Widodo meresmikan Jembatan Merah Putih di Kota Ambon pada 4 April 2016. Ketika berpidato, Presiden Joko Widodo secara gamblang menjelaskan alasannya memutuskan kilang Blok Masela di darat.
Kira-kira begini ucapaan Presiden ketika itu, “Di darat kalau tidak didesain yang baik, jadinya juga tidak baik juga. Apalagi di laut, ini nanti menjadi super enclave, jadi rakyat hanya lihat dari jauh. Kalau investor maunya di laut, tapi dari sisi pembangunan regional, Blok Masela akan lebih memberikan multiplier effect yang besar di darat”.
Perintah Presiden
Satu hal yang patut digarisbawahi lagi, Presiden Joko Widodo memerintahkan Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi untuk mempersiapkan ahli minyak dari Universitas Pattimura dalam kurun waktu 4-5 tahun yang akan datang. Kutipannya seperti begini: “Saya perintahkan ke Menteri Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi siapkan Politeknik Ambon dan Universitas Pattimura. Siapkan ini. Tidak ada lagi alasan SDM tidak ada. Dihitung sekalian dari sekarang, kalau mereka butuh 1000, siapkan 2000”.
Ini perintah Presiden Joko Widodo satu tahun lalu ketika meresmikan Jembatan Merah Putih, tetapi setelah satu tahun berlalu, rakyat Maluku belum melihat ada gejala perintah Presiden itu direalisasikan. Semestinya, Menristek Dikti melaporkan pelaksanaan perintah kepada Presiden. Sebab, di lapangan, tidak ada upaya untuk mempersiapkan sumber daya manusia Maluku seperti yang diharapkan Presiden Jokowi.
Dalam instruksi itu memang perintah untuk menyiapkan Universitas Pattimura dan Politeknik Ambon, tetapi kedua lembaga ini akan kewalahan menyiapkan sumber daya alam jika tidak ditopang oleh perguruan tinggi lain di Maluku. Sangat penting untuk memperkuat dan memberdayakan perguruan tinggi lain, seperti IAIN Ambon, STAKPN Ambon, Universitas Darussalam Ambon, UKI Maluku dan semua perguruan tinggi di Maluku, termasuk berbagai lembaga kursus dan pelatihan.
Niat menyiapkan SDM tidak bisa hanya sebatas wacana, karena membutuhkan keberpihakan kebijakan, penguatan kelembagaan, dan pendanaan. Perintah Presiden Jokowi satu tahun silam itu, menjadi sangat relevan dan penting untuk dilaksanakan dalam konteks penyiapan SDM Maluku, terutama di bidang Migas. Di sisi lain, muncul keinginan untuk membangun Institut Teknologi Ambon. Sejauh niat untuk memperbaiki kualitas SDM di Maluku, sangat wajar dan patut untuk didukung. Kita semua tentu rindu memiliki lembaga seperti IPB ataupun ITB.
Keberadaan institut teknologi menjadi kebutuhan, tetapi memulai sesuatu yang baru sama sekali, sementara mengabaikan potensi yang sudah ada juga merupakan langkah yang kurang bijak. Jangan sampai, potensi yang ada tidak dikembangkan, sementara yang baru juga membutuhkan waktu yang relatif lama. Sangat bagus, jika potensi yang ada diperkuat dan diberdayakan sehingga menghasilkan SDM yang berkualitas, sementara secara perlahan merintis institut teknologi untuk menambah kualitas dan kuantitas di masa depan.
Untuk itu, melalui momentum satu tahun ini, tidak ada salahnya, jika kita mengingatkan lagi janji atau perintah yang pernah disampaikan di atas Jembatan Merah Putih. Kalau janji adalah hutang, maka Presiden Joko Widodo masih memiliki hutang untuk menyiapkan SDM Maluku sehingga rakyat Maluku tidak menjadi penonton di atas kekayaan alamnya sendiri. Pelajaran dari PT. Freeport lebih dari cukup untuk menjadi renungan dalam mengelola sumber daya alam, terutama Blok Masela. Sebab, samar-samar sudah terdengar kalau Blok Masela akan menjadi Freeport baru, karena memiliki cadangan gas yang sangat melimpah.
Momentum satu tahun ini perlu menjadi pengingat bagi Presiden dan pembantu presiden, karena niat untuk membangun kilang di darat itu sebatas komitmen lisan, karena tidak diikuti dengan aspek legal formal. Dengan perubahan skema itu, otomatis harus diikuti dengan revisi PoD, yang semestinya lebih transparan bagi rakyat Maluku.
Selain itu, sikap Presiden Joko Widodo yang sama sekali tidak menyinggung perkembangan pengelolaan Blok Masela selama dua kali kunjungan ke Maluku menjadi pertanyaan sendiri. Pertama, ketika menghadiri puncak Hari Pers Nasional di Ambon pada 9 Pebruari 2017 dan ketika membuka Tanwir Muhammadiyah di Ambon pada 24 Pebruari 2017. Memang, itu bukan suatu kewajiban, tetapi rakyat Maluku sesungguhnya membutuhkan progres dari perubahan skema laut ke darat.
Akses Maluku
Keterbukaan informasi mengenai Blok Masela akan menjadi informasi berharga bagi rakyat untuk mempersiapkan diri, sehingga tidak menjadi penonton atau bahkan menjadi korban ketika Blok Masela beroperasi. Rakyat akan memiliki kesiapan untuk merespon perubahan, termasuk menangkap peluang ekonomi yang muncul dari keberadaan Blok Masela. Pemerintah dan semua pimpinan di berbagai level memiliki tanggung jawab untuk tidak menjadikan rakyat miskin di atas kekayaan yang ada.
Apalagi, ketiadaan akses dan informasi yang memadai, bukan hanya melemahkan rakyat, tetapi juga menyulitkan pemerintah daerah untuk menyiapkan kebijakan strategis yang memastikan Maluku memperoleh hak yang adil di Blok Masela. Sikap menutup akses bagi semua stakeholder di Maluku dalam pengembangan Blok Masela sesungguhnya tidak lebih dari keinginan untuk menguasai sumber daya alam tanpa peduli dengan nasib rakyat sekitarnya.
Ketiadaan langkah nyata dari Kemenristek Dikti dan sikap diam Presiden Joko Widodo soal Blok Masela ini menimbulkan berbagai spekulasi, termasuk masih adanya berbagai upaya untuk mengulur waktu, sekaligus menanti momentum untuk mengembalikan ke laut. Semua berharap ini tidak terjadi, sehingga rakyat Maluku tidak menjadi penonton semata seperti harapan Presiden Joko Widodo.
Komitmen untuk membangun kilang darat memang sebatas lisan, tetapi bagi rakyat dengan tradisi lisan yang panjang, komitmen lisan juga sangat bermakna. Namun, sangat baik kalau komitmen itu tertulis untuk kepentingan legal formal. Bagi Maluku, tidak ada cara lain, kecuali tetap mempersiapkan diri untuk ikut mengambil peran dalam setiap peluang yang hadir melalui Blok Masela.***
Penulis adalah Alumni Universitas Bremen Jerman. Pendiri dan Direktur Archipelago Solidarity Foundation