Harapan Baru Maluku
Sejarah rempah telah berabad-abad silam. Pada abad 4 SM, Kota Alexandria (Mesir) menjadi pusat komersial dan perdagangan rempah yang dikuasai saudagar Arab di Mediteranian. Tahun 30 Masehi, Kaisar Agustus (Romawi) merebut Alexandria dan menguasai bisnis rempah dan komoditi lain Asia-Afrika serta mengakhiri monopoli rute bisnis rempah dari saudagar Arab.
Kemudian, pada tahun 40 Masehi, saudagar Yunani, Hippalus, menemukan trade-winds dua kali setahun di Lautan India. April-Oktober angin musim barat-daya bertiup dari Mesir-India dan Oktober-April timur-laut bertiup dari India-Mesir. Romawi dapat berdagang langsung rempah Alexandria-India (DK Publishin, 2011: 24-25).
Pengetahuan trade-winds memandu perdagangan rempah pertamakali Laut Merah-India (Keith Roberts, 2011:117). Trade-winds itu juga membawa Rasul Thomas ke Andrapolis (India) tahun 40 M (R. McLaughlin, 2014:151).
Upaya bangsa Eropa mencari sumber rempah ditandai dengan Pelayaran Ferdinand Magellan melintasi Pasifik tahun 1519 dari Sevilla (Spanyol) dan bersaing dengan Portugal merebut Spice Islands (Kepulauan Maluku). Ekspedisi Portugal dipimpin António de Abreu mencapai Maluku awal 1512 dan Francisco Serrao membangun Forte de São João Baptista di Ternate tahun 1522.
Duel Portugal vs Spanyol merebut Maluku diakhiri melalui Perjanjian Zaragoza tanggal 22 April 1529. Merediannya terletak di 17 derajat bujur timur Maluku untuk Portugal (Lautan India-Asia) dan Spanyol (Amerika-sebagian besar Pasifik). (R. F. Rogers, 1995:12).
Pencarian terhadap Maluku tidak terlepas dari pencarian rempah yang merupakan komoditi yang paling dicari dunia pasa masa itu. Perdagangan rempah dari Maluku sudah jauh terjadi sebelum kedatangan orang Eropa ke Maluku.
Daniel T. Potts dalam Mesopotamian Civilization memiliki kutipan yang menyatakan, cengkeh Maluku diangkut melalui India ke Mesopotamia, Eufrat, dan Suriah tahun 1.700 pra-Masehi, yang menandai jejak dan tolok-ukur historis (kairos) hubungan Timur-Barat era pra-Masehi.
Perburun rempah dari Maluku ini menjadikan Maluku sebagai tempat pertarungan kepentingan bangsa Eropa. Untuk hal ini, E.E.Rich dalam The Economy of Expanding Europe in The 16th and 17th Centuries menulis, Maluku menjadi tempat terkaya yang menimbulkan pertentangan kekuatan Eropa. Daerah ini juga merupakan titik penetrasi Eropa dari arah barat dan timur, bertemu dan bentrok.
Masa keemasan rempah ini sesungguhnya menjadi harapan baik bagi rakyat Maluku. Tetapi, harapan itu hanya sebatas harapan, karena Maluku berada pada posisi objek, yang dieksploitasi untuk melahirkan peradaban baru di belahan dunia yang lain. Sedangkan Maluku terjebak dalam penjajahan dan kolonialisme. “The story of spices in the east Indies in the 17th and 18th centuries was written in blood”. Sejarah rempah di Hindia Timur (Indonesia) pada abad 17 dan 18 ditulis dengan darah. Begitu ungkapan bersayap F. Rosengarten dalam The Book of Spices.
Kondisi Maluku berbanding terbalik dengan kekayaannya, dimana cengkeh (cloves), pala (nutmeg) dan lada Maluku pad abad 16-18 Masehi dikenal sebagai “the holy trinity of spices” (trinitas suci rempah-rempah) yang memicu revolusi komersial dunia.
Setelah rempah kian meredup, kekayaan Maluku tetap menjadi buruan. Maluku sebagai wilayah kepulauan memiliki kekayaan ikan dan sumber daya laut yang melimpah. Ikan dari Maluku menjadi pemasok untuk dunia. Tidak heran ketika berlakunya deklarasi Djuanda yang menjadikan Indonesia sebagai Negara Kepulauan sangat menganggu kepentingan Jepang untuk menangkap ikan di perairan Maluku.
Kekayaan Laut
Melalui Banda Sea Agreement (Perjanjian Laut Banda) pada tahun 1968, nelayan Jepang diperbolehkan untuk menangkap ikan di perairan Maluku dengan berbagai ketentuan, tetapi Jepang memberikan imbalan kepada Indonesia berupa dana segar yang memang sangat dibutuhkan Indonesia pada periode awal kemerdekaan. Kekayaan Maluku menjadi jaminan untuk mendapatkan dana segar bagi pembangunan di Indonesia.
John. G. Butcher dalam The Closing of The Frontier yang mengulas sejarah penangkapan ikan di Asia Tenggara mengungkapkan, selama periode 1968-1975, Jepang menangkap sekitar 40.000 ton tuna dengan nilai sekitar $ 20.000 juta. Indonesia hanya memperoleh $ 150.000. Selain itu, Jepang memberikan hibah dan kredit senilai $ 9,8 juta.
Penangkapan ikan di Laut Maluku terus berlangsung sampai dengan saat ini. Pada tahun 2013, Kementerian Kelautan dan Perikanan melansir angka yang sangat mengejutkan, karena kerugian akibat penangkapan ilegal di laut Arafuru mencapai sekitar Rp 40 Triliun per tahun. Dalam periode 2001-2013 terdapat kerugian sekitar Rp 520 Triliun. Tentu, ini angka yang fantastis bila dibandingkan dengan APBD Maluku. Misalnya, alokasi APBN tahun 2016 untuk Maluku sebesar 8,2 Triliun, kemudian APBD Maluku 2016 sebesar Rp 2,4 Triliun.
Jadi, kalau saja ada sistem pembagian yang adil dan kebijakan afirmasi untuk Maluku, maka Maluku tidak harus terpuruk dalam kemiskinan di atas kekayaan alam yang melimpah itu.
Biro Pusat Statistik (BPS) Maluku tahun 2015 menyebutkan, 18,84 persen atau sekitar 307.000 jiwa dari total 1,6 juta jiwa Provinsi Maluku masih miskin dan menempati urutan keempat setelah Papua, Papua Barat, dan Nusa Tenggara Timur (NTT).
Berdasarkan berbagai catatan ilmuwan di Indonesia, pada era 1969-1998 terdapat 63 program Repelita pengentasan kemiskinan yang melibatkan 20 lembaga departemen, non-departemen, lembaga keuangan Pemerintah RI, yayasan, swasta, konglomerat, Koperasi Unit Desa, Lembaga Swadaya Masyarakat, lembaga internasional seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Bank Pembangunan Asia (ADB), United Nations Developmen Program (UNDP) dan UNHCR-PBB.
Tahun 2004-2014, sebanyak 11 program pengentasan kemiskinan seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT), program beras rakyat miskin, Bantuan Operasional Sekolah (BOS), kredit mikro dan dana koperasi UKM, program pupuk murah, Jaminan Sosial Pekerja, dan lain-lain dengan dukungan dana ratusan triliun rupiah, diharapkan dapat mengentaskan kemiskinan. Hasilnya, penduduk miskin tahun 2004 mencapai 36,2 juta jiwa dan tahun 2012, penduduk miskin berkisar 29,13 juta atau angka kemiskinan hanya turun 7 juta (Bappenas, 2013:15).
Dari berbagai program itu, ternyata tidak berhasil memperbaiki keadaan di Maluku. Kemiskinan dan keterpurukan pendidikan merupakan dua sisi mata uang yang selalu berdampingan dan tak terpisahkan. Sahabat karib kemiskinan itu pasti kebodohan. Situasi ini tidak bisa direspon dengan cara rutin dan mengandalkan APBN dan APBD semata. Jumlah alokasi APBN dan APBD untuk Maluku sudah jelas tidak akan mengangkat Maluku dari kemiskinan.
Dalam situasi sesulit apapun. Semua bisa saja hilang, tetapi ada satu yang harus terpelihara. Itulah harapan. Sebab, harapan akan melahirkan sikap optimistis untuk bangkit dari keterpurukan. Maluku memiliki harapan baru untuk bangkit menyusul keputusan Presiden Joko Widodo untuk menetapkan pengembangan kilang Blok Masela di darat.
Motor Penggerak
Keberadaan kilang di darat ini, setidaknya ada 200 industri turunan yang akan mengangkat ekonomi rakyat Maluku. Keberadaan Blok masela di darat ini menjadi motor penggerak untuk melompat dan mengejar ketertinggalan.
Keuntungan ini hanya bisa terjadi bila Blok Masela tetap di darat. Jadi, perjuangan untuk memindahkan kilang Blok Masela dari laut ke darat, bukan sekadar lokasi darat atau laut, tetapi sebenarnya usaha agar Maluku memperoleh hak yang semestinya.
Mengapa? Dalam UU Nomo 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, sangat rinci mengatur urusan pusat dan daerah. Pada urusan kelautan, pesisir dan pulau-pulau kecial, Pemerintah Pusat berhak mengurus pengelolaan ruang laut di atas 12 mil dan strategis nasional. Sedangkan, pemerintah provinsi mengelola ruang laut sampai dengan 12 mil di luar minyak dan gas bumi. Pemerintah provinsi berhak menerbitkan izin dan pemanfaatan ruang laut di bawah 12 mil di luar minyak dan gas bumi.
Pengaturan seperti ini sangat menyulitkan Maluku yang ditakdirkan sebagai provinsi kepulauan. Blok Masela berada di atas 12 mil, sehingga itu mutlak menjadi kewenangan pusat, sehingga Maluku tidak bisa ikut campur dari pemanfaatan ruang laut dan sebagainya. Untuk itu, dapat dibayangkan, ketika kilang laut dibangun terapung, maka Maluku hanya menjadi penonton ketika Gas Masela dikeruk untuk diekspor dan menghidupkan industri di tempat lain.
Namun, dengan keputusan pengembangan kilang Masela di darat sesungguhnya menjadi harapan baru bagi Maluku untuk mengejar ketertinggalan dari daerah lain. Maluku tidak boleh lagi melepaskan harapan yang baik ini untuk keluar dari kemiskinan seperti pada masa kejayaan rempah-rempah. Industri Migas melalui Blok Masela ini menjadi momentum untuk Maluku bangkit.
Satu tantangan di depan mata lebih kepada bagaimana kesiapan sumber daya manusia melalui penguatan kualitas semua lembaga pendidikan tinggi di Maluku. Universitas Pattimura sendiri tidak akan mampu untuk menjawab kebutuhan industri Migas. Untuk itu, Universitas Darussalam, Universitas Kristen Indonesia Maluku, IAIN, STAKPN, Politeknik dan sebagainya harus berbenah untuk memperkuat diri guna mengisi kebutuhan di Blok Masela. Karena kita semua tidak mau kesempatan anak muda Maluku hilang atau lewat begitu saja hanya karena tidak bijak dan peduli terhadap semua lembaga pendidikan tinggi di Maluku.
Selain Migas, Maluku juga memulai dari pilihan program prioritas bidang sumber alam bernilai komersial dan non-komersial seperti mutiara, kopi, cengkeh, vanili, lada, pala, merica, damar, kakao, pinang, gaharu, kopra, ikan teripang, minyak, emas dan gas. Pilihan ini perlu mendapat dukungan infrastruktur dasar dan infrastruktur sains-teknologi.
Keberadaan Blok Migas dan pilihan strategis ini hampir pasti membutuhkan keterlibatan atau melibatkan kemitraan pemerintah, masyarakat, lembaga pendidikan, lembaga swadaya dan swasta. Kemitraan strategis ini merupakan salah satu pilihan untuk mewujudkannyatakan Harapan Baru Maluku dengan Blok Masela sebagai penggerak utama. Semoga.
Penulis adalah Lulusan Ekonomi Politik dari Universitas Bremen Jerman.
Sumber: Majalah Assau, Edisi Februari 2017